Senin, 25 April 2016

CATATAN PENDAKIAN GUNUNG GEDE PANGRANGO Part. 2

Petualangan, Penyelamatan, Bertahan Hidup, Mistis

BASED ON TRUE STORY


Minggu, 26 Oktober 2014
Pukul 05.30 WIB., pagi hari yang dingin, kami paksakan untuk bangun meski rasa lelah di tubuh belum terobati dan rasa kantuk dimata belum juga hilang. Kami memulai sarapan dengan menu alakadarnya, bahkan mungkin jauh dari cukup, ada yang hanya memakan roti, minuman sereal, mie rebus, bahkan ada yang hanya minum air putih. Entah kenapa saat itu kami seperti kurang berselera untuk makan, mungkin karena keadaan kalut yang kami lewati. Kondisi Yuli sendiri sudah lebih baik, suhu tubuh normal, denyut nadi normal, meskipun Yuli masih mengeluh sakit di bagian lututnya, sementara kondisi personil yang lain cukup baik. Setelah selesai kami segera berkemas, membongkar tenda  dan membersihkan lokasi camp.

Memberikan perawatan sebelum melanjutkan perjalanan
Pukul 06.30 WIB., diawali dengan do’a kami kembali melanjutkan pendakian. Kami berjalan lambat perlahan karena kondisi kaki Yuli yang cedera sehingga harus kami papah. Tidak berapa lama berjalan ternyata di depan kami telah padat berjejer tenda-tenda para pendaki, lokasinya sebelum puncak Gede. Sekitar setengah jam berjalan kami mulai memasuki puncak Gede, disini kita akan berjalan diantara jurang terbuka tanpa adanya pohon-pohon cantigi yang sebelumnya mendominasi trek yang kami lewati.
 
Melanjutkan perjalanan menuju puncak Gede
Tiba-tiba kami dikagetkan kembali dengan pingsannya Yuli. Keadaan kembali kalut, tapi kami mencoba untuk tetap tenang. Kami segera memberikan pertolongan kepada Yuli, sekitar 10 menit pingsan Yuli dapat disadarkan, kami mencoba menenangkan, memberikan motivasi untuk menguatkan. Selain merasakan sakit di lututnya, menerut pengakuan Yuli karena pandangannya yang tertuju pada jurang di kanan dan kiri jalur membuatnya sangat pusing tak tertahankan. Kami coba kembali memapah Yuli berjalan, tetapi tidak berapa lama Yuli kembali ambruk kehilangan kesadaran. Maka pada saat itu dapat kami simpulkan bahwa Yuli mengidap Phobia ketinggian. Sejenak kami terdiam, tidak tau apa lagi yang harus dilakukan. Puncak Gede sudah kami pijak, tapi bukan rasa senang yang kami rasakan seperti kebanyakan pendaki lain saat itu. Muncul sebuah ide dari Ocoy untuk menutup mata Yuli menggunakan masker, ide yang brilian dan patut dicoba. Hasilnya sangat efektif, Yuli tidak lagi pingsan meskipun jalannya harus kami papah karena selain mata yang tertutup juga kakinya yang cedera.

Yuli berjalan dipapah dengan mata ditutup masker

Pukul 08.00 WIB., Dengan bersusah payah sampailah kami di persimpangan menuju trek turun ke Alun-alun Suryakencana. Saat itu Yuli sudah tidak sanggup lagi berjalan, kakinya sudah mati rasa dan kehabisan energi, sedangakan persediaan air kami habis. Trek yang curam diantara pohon-pohon Cantigi dari Puncak Gede menuju Alun-alun Suryakencana berada di depan kami. Kembali bingung, bagaimana cara kami membawa Yuli turun ke Suryakencana, karena jangankan berjalan di trek curam, untuk berdiri pun Yuli tak bisa. Kami harus segera mengambil tindakan. Kembali kami membagi tugas, Heru, Jaed dan Erlan turun terlebih dahulu ke Alun-alun Suryakencana untuk membut Camp, mencari air dan menyiapkan makanan. Sementara Saya, Ocoy, Usman, Iwan dan Andi akan bergantian menggendong Yuli turun ke Suryakencana.
 
Menggendong Yuli turun dari puncak Gede ke Suryakencana

Menggendong Yuli turun dari puncak Gede ke Suryakencana
Sebetulnya resiko yang sangat besar membawa seorang korban atau pisien menuruni jalur curam dengan cara digendong, cara terbaik adalah dengan menggunakan tandu. Tapi saat itu kami berada dalam keadaan tidak mungkin untuk menyiapkan atau membuat tandu. Mulailah kami menggendong Yuli bergantian, sesekali kami berhenti, beristirahat dan memberikan perawatan dengan mengurut lutut Yuli. Sering kali pendaki lain yang bersimpatik memberikan bantuan dengan memberi perawatan atau hanya sekedar memberikan air minum.
 
Pendaki lain membantu memberikan perawatan
Pukul 09.30 WIB., akhirnya sampai juga di Alun-alun Suryakencana. Yuli segera di evakuasi kedalam tenda yang telah disiapkan lalu kemudian diberikan perawatan. Makanan juga telah disipakan, kami pun makan dengan menu sederhana alakadarnya. Cukup lama kami beristirahat di Alun-alun Suryakencana. Memastikan tenaga kami benar-benar pulih untuk melanjutkan perjalanan pulang, terutama memulihkan kondisi Yuli yang lemah.
 
Beristirahat di Suryakencana
Beristirahat di Suryakencana
Ternyata memang sungguh indah Alun-alun Suryakencana, padang terbuka ditumbuhi bunga Edelweis yang entah berapa puluh hektare luasnya. Beberapa dari kami tidak kuasa melewatkan keindahan Alun-alun suryakencana, berjalan-jalan dan berfoto, mencoba sejenak melupakan kondisi genting yang kami alami, rasa lelah pun sedikit terobati.
 
Suasana di Suryakencana

Sekitar 3 jam kami berada di Alun-alun Suryakencana, kami harus segera bergegas melanjutkan perjalanan pulang, tidak mungkin lagi kami berlama-lama beristirahat. Setelah mengisi persediaan air, membongkar tenda, packing barang dan membersikan lokasi camp, kamipun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
 
Persiapan melanjutkan perjalanan

Pukul 12.30 WIB., kami mulai melanjutkan perjalanan. Kondisi Yuli yang tidak banyak mengalami perubahan membuatnya kembali harus kami papah dalam berjalan. Sekitar 2 Km kami berjalan menyusuri lembah Suryakencana dengan kondisi jalan yang datar sehingga kami tidak terlalu kesulitan dalam memapah Yuli. Beberapa saat kemudian kondisi jalan mulai berubah menurun curam menuju ke Gunung Putri. Kembali kami berada dalam kesulitan, kondisi Yuli semakin memburuk, kini Yuli tidak sanggup lagi untuk berjalan. Kami kembali mencoba menggendong Yuli bergantian. Situasi semakin buruk, kami yang sudah sama-sama kehabisan tenaga, ditambah kondisi trek turun yang semakin curam sangat menyulitkan kami. Akhirnya diputuskan untuk membuat tandu, meskipun kami cukup kesulitan membuat tandu karena keterbatasan alat dan bahan.
 
Membuat tandu darurat
Setelah tandu darurat jadi 4 orang dari kami segera menggotong Yuli. Meskipun kali ini beban terasa lebih ringan karena terbagi 4, bukan perkara mudah membawa korban menggunakan tandu melintasi jalur curam, licin dan sempit, ditambah lagi hujan yang mulai turun rintik-rintik. Kami berjalan lambat sekali memastikan tandu tidak terjatuh. Sekitar 3 jam kami berjalan pelan menuruni jalur menuju Gunung Putri dengan tenaga yang hampir habis.
 
Evakuasi menggunakan tandu darurat
Pukul, 17.30 WIB., kami sampai di shelter peristirahatan, bangunan yang sengaja dibangun oleh pihak pengelola untuk beristirahat para pendaki. Hari sudah mulai gelap, raut kelelahan diwajah-wajah kami sudah tak dapat lagi disembunyikan, tak ada lagi canda tawa keceriaan yang biasanya selalu menyertai kebersamaan kami, tapi kami selalu menyadari, bahwa untuk situasi seperti ini lah kami dilatih, dan sesulit apapun atau separah apapun keadaannya kami tau bahwa ini lah salah satu konsekuensi dari naik gunung.
Beristirahat sejenak
Di shelter ini kami beristirahat cukup lama, selain menunggu reda hujan yang turun makin lebat, memulihkan tenaga, kamipun menyempatkan mengisi perut dengan sisa-sisa logistik yang hampir habis. Kondisi Yuli makin lemah, semua upaya telah dilakukan, kami merawat dan tak henti-henti memberikan motivasi kepada Yuli supaya bisa kuat.
Sampai di shelter peristirahan jalur turun Gunung Putri
Pukul, 18.30 WIB., Tak mungkin beristirahat lebih lama lagi kami putuskan untuk bergegas melanjutkan perjalanan. Hujan sudah mulai reda, Yuli kembali ditandu, kami kembali berjalan perlahan menuruni jalur menuju Gunung Putri. Trek yang kami lewati semakin sulit, beberapa kali diantara kami jatuh terpeleset. Meski dalam keadaan lelah kami tetap optimis dan saling menguatkan, sesekali kami isi perjalanan dengan candaan-candaan untuk sedikit mencairkan suasana. Sekitar 1 jam kemudian kami kembali panik, Yuli yang selama perjalanan tadi masih bisa kami ajak komunikasi kini tidak sedikitpun merespon saat kami panggil. Ternyata Yuli kembali kehilangan kesadarannya, wajah Yuli pucat dan denyut nadinya lemah. Sekuat tenaga kami kembali berusa untuk menyadarkan Yuli, segala cara kami lakukan hingga akhirnya Yuli terbangun.

Mulai dari sini kejanggalan-kejanggalan terjadi, setelah terbangun dari pingsan gelagat Yuli menjadi aneh, sambil tersenyum sinis dan mata melotot Yuli memandang kami satu persatu seakan meledek kami yang sudah sangat kepayahan. Sambil tertawa Yuli berkata “Beurat nyah siah ngagandong aing?” (berat kan menggendong saya?), “Hayu buru maju deui, aing hayang balik!” (ayo cepat jalan lagi, saya mau pulang!). kami semua kaget mendengar kata-kata kasar yang Yuli ucapkan. Selain kondisi badan yang lemah dan cedera tidak ada tanda-tanda Yuli terserang hypotermia, maka saat itu kami sepakat menyimpulkan bahwa Yuli telah kerasukan!. Heru mencoba sekuat tenaga menyadarkan Yuli, kami pun membantu sebisa mungkin dengan membaca surat-surat/ayat-ayat Al-Quran. Beberapa saaat Yuli dapat disadarkan, tetapi tidak lama kembali kerasukan. Kami sangat kewalahan mengontro Yuli, Yuli memaksa untuk segera melanjutkan perjalanan turun.

Pukul 19.30 WIB., Dalam keadaan yang semakin tidak menentu kami segera mengambil tindakan. Saya dan Usman memutuskan untuk turun terlebih dahulu ke Pos pintu masuk pendakian Gunung Putri untuk meminta bantuan evakuasi, sementara yang lain tetap mendampingi Yuli.

Meninggalan rombongan saya dan Usman mulai berjalan turun dengan berlari tanpa henti, beberapa kali kami harus jatuh terpelesaet. Anehnya kami sama sekali tidak merasakan cape ataupu haus, saya sendiri merasakan pada saat itu seperti ada yang menyertai kami dan terus mendorong untuk berlari. Suara-suara aneh yang saya yakini bukan bersal dari hewan ataupun manusia sering kali terdengar, membuat bulu kuduk merinding. Entah itu nyata atau hanya halusinasi sedikitpun tidak kami hiraukan, yang ada di fiiran kami saat itu hanya untuk secepat mungkin sampai di Pos pintu masuk pendakian dan segera meminta bantuan. Entah berapa puluh rombongan pendaki yang sama-sama akan turun yang kami salip, ataupun berpapasan dengan yang baru akan naik.

Pukul 20.30 WIB., setelah berlari tanpa henti saya dan Usman sampai di Pos pintu masuk pendakian Gunung Putri. Pos yang berbentuk rumah berbahan bambu dan kayu, dengan beberapa ruangan di dalamnya, cukup luas. Disi tampak hiruk-pikuk para pendaki baik yang baru akan naik maupun yang baru turun.  Segera kami melapor kepada petugas, sedetail mungkin saya menjelaskan mulai dari kondisi Yuli, kondisi personil lain, maupun kronologis perjalanan kami. Setelah selesai memberikan laporan segera Ranger disiapkan untuk evakuasi, saya dan Usman dipersilahkan untuk beristirahat. Dalam keadaan harap-harap cemas saya dan Usman menunggu sambil beristirahat di depan pos pintu masuk pendakian, kini baru terasa tenaga kami sudah benar-benar habis setelah 1 jam berlari tanpa henti. Hujan lebat kembali turun, membuat saya dan Usman semakin cemas akan kondisi kawan-kawan lain, saya dan Usman hanya bisa ber do’a.

Pukul 21.00 WIB., Yuli didampingi Heru, Ocoy, Andi dan Dede samapai di pos Gunung Putri. Saya dan Usman, bahkan Ranger yang telah siap untuk naik mengevakuasi dibuat kaget dan heran, bagaimana mungkin Yuli yang dalam keadaan cedera dan kondisi badan yang lemah bisa secepat ini samapai, hanya berselang setengah jam dari kedatangan saya dan Usman. Yuli segera dibawa masuk kedalam, ternyata Yuli masih dalam keadaan kerasukan. Para petugas segera menangani dan memberikan pertolongan. “Pang anteurkeun siah ! Incu aing hayang balik !” (tolong diantarkan ! Cucu saya mau pulang !). Yuli kembali meracau sambil berontak. Kami segera memegangi, dan petugas mencoba menyadarkan Yuli. Beberapa saat kemdian sosok yang merasuki Yuli dapat dikeluarkan, Yuli terkulai lemas, segera Yuli diberikan minuman teh hangat.

Meski Yuli telah mendapatkan penanganan dan kodisinya mulai membaik, kami masih cemas. Sekitar 1 jam kami berada di Pos, Jaed, Iwan, Abuy dan Elan belum juga sampai. Ternyata kelompok yang tadi saya dan Usman tinggalkan turun terpisah lagi menjadi 2. Beberapa kali kami mencoba telepon tidaka juga tersambung, mungkin karena tidak adanya sinyal atau karena kehabisan batre. Saya sempat berfikir untuk kembali mendaki menyusul kawan-kawan yang masih tertinggal, apa lagi setelah mendengar keterangan dari kawan-kawan yang baru datang bahwa ke 4 orang kawan kami yang masih tertinggal kondisinya lemah. Kami mencoba terus mencari tahu keberadaan ke 4 kawan kami dengan bertanya kepada para pendaki lain yang baru tiba di Pos, tapi tak ada satupun dari mereka yang mengetahui.

Samapi beberapa saat kemudian tiba-tiba HP saya berbunyi, ternyata telepon  dari Abuy. Segera saya bertanya tentang posisi dan kondisinya. Sungguh diluar dugaan, ternyata Abuy dan ke 3 kawan lainnya telah berada di tempat parkir kendaraan Gunng Putri (sekitar 15 menit berjalan kaki turun dari Pos Pendakian menuju tempat parkir). Disini keanehan kembali terjadi, bahkan saya dan Abuy sempat sedikit berdebat di telepon, kenapa mereka sampai meninggalkan kami yang dari tadi sangat cemas menunggu mereka di Pos pintu masuk, tapi Abuy punya argumen bahwa dia dan ke 3 kawan lain pun sempat singgah di Pos pintu masuk untuk mencari kami, tapi sama sekali tidak melihat keberadaan kami, dan berfikir bahwa kami yang telah meninggalkan mereka. Tapi lepas dari keanehan yang lagi-lagi terjadi kami bersyukur bahwa keadaan semua personil baik-baik saja.
Pos GPO Gunung Putri
Pukul 22.00 WIB., kami meninggalkan Pos pintu masuk pendakian Gunung Putri, menyusul ke 4 kawan kami yang telah berada di tempat parkir. Kondisi Yuli lebih baik meskipun harus bejalan perlahan dan tetap kami papah. Di tempat parkir kami sempatkan dulu untuk mengisi perut di salah satu warung makan sambil menunggu angkot carteran yang akan kami tumpangi ke Cibodas untuk mengambil kendaraan kami.

Pukul 22.30 WIB., kami sampai di Cibodas. Ada perasaan lega dan haru dihati kami setelah melewati masa-masa sulit selama pendakian. Sungguh pelajaran yang teramat sangat berharga bagi kami, karena bukan hanya sekedar ketangguhan fisik, tetap juga mental, kesabaran, semangat, kekompakan, kesetiakawanan dan kepasrahan kami diuji.

Pukul 23.00 WIB., setelah mengurus pembayaran parkir kendaraan kami melanjutkan perjalanan pulang. Sekitar 3 jam berkendara akhirnya kami sampai dirumah dengan selamat untuk kemudian beristirahat, melanjutkan aktifitas dan rutinitas sehari-hari, dan tentu saja untuk lebih mensyukuri nikmat Allah SWT. Karena betapa sebuah Pendakian akan memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita, apa bila kita bisa memaknainya.

Sekian...

Sabtu, 05 Maret 2016

CATATAN PENDAKIAN GUNUNG GEDE PANGRANGO

 Part. 1

Petualangan, Penyelamatan, Bertahan Hidup, Mistis

BASED ON TRUE STORY

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)
Gunung Gede Pangrango terletak di wilayah Kabupaten Cianjur, Bogor dan Sukabumi Provinsi Jawa Barat, ke-2 Gunung ini berada dalam wilayah Konservasi TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango), dengan Gn. Pangrango-nya yang merupakan Gunung tertinggi ke-2 di Jawa Barat yaitu 3.019 Mdpl. setelah Gn. Ceremai 3.084 Mdpl. Di Indonesia Gn. Gede Pangrango menjadi gunung paling ramai dan  difavoritkan oleh para pendaki, mungkin karena letaknya yang paling mudah diakses, terutama dari Jakarta. Itu pun yang menjadi alasan kami menjadikan Gn. Gede Pangrango sebagai tunjuan pendakian kali ini, karena jaraknya yang cukup dekat dari Purwakarta, hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan.

Tidak seperti gunung-gunung lain, untuk mendaki Gn. Gede Pangrango kita akan dihadapkan dengan proses perizinan yang lumayan rumit. Pertama kita harus melakukan Booking Online jauh-jauh hari sebelum hari H Pendakian yang telah kita tetapkan, kemudian transfer uang pendaftaran ke rekening Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kemudian kita akan divalidasi, setelah divalidasi beberapa hari sebelum hari H kita harus datang langsung ke kantor TNGGP untuk pengurusan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dengan menyertaka fotokopi identitas dan melunasi biaya administrasi (bila pada saat transfer belum dilunasi semua), selanjutnya setelah mendapatkan SIMAKSI barulah kita dapat melakukan pendakian pada hari yang telah ditentukan.

Balai Besar TNGGP (Tempat mengurus SIMAKSI)
Ada 3 pintu masuk pendakian resmi yang telah ditentukan, yaitu Cibodas 1.425 Mdpl. dan Gunung Putri 1.450 Mdpl. di Cianjur dan Selabintana 960 Mdpl. di Sukabumi. Pintu masuk Gunung Putri menjadi yang paling difavoritkan oleh para pendaki karena jarak tempuh pendakian yang lebih dekat tetapi relatif lebih curam. Untuk akses kendaraan umum menuju pintu masuk pendakian cukup banyak, ataupun apabila kita membawa kendaraan pribadi kita dapat menitipkannya di tempat parkir yang tersedia di pintu masuk pendakian. Seperti kami yang saat itu membawa kendaraan pribadi kami titipkan di tempat parkir kendaraan kawasan Cibodas.

Setelah melewati pembahasan bersama kawan-kawan Gemapala, maka ditentukan waktu pendakian yaitu hari Sabtu dan Minggu tanggal 25 – 26 Oktober 2014, sementara untuk keberangkatan ditentukan satu hari sebelumnya yaitu hari Jumat tanggal 24 Oktober 2014 supaya kita dapat beristirahat dulu 1 malam di Cibodas, karena kita menentukan Cibodas sebagai pintu masuk pendakian dan Gunung Putri sebagai pintu keluar.

Jumat, 24 Oktober 2014
Pukul 15.30 WIB., hari yang ditunggu telah tiba. Satu persatu personil yang akan turut serta dalam pendakian tiba di rumah saya yang dijadikan sebagai tempat kumpul. Jumlah personil yang akan ikut berjumlah 11 orang, 9 laki-laki : Dilah (Saya), Heru, Jaed, Ocoy, Erlan, Usman, Iwan, Andi, Abuy. dan 2 perempuan : Yuli, Dede. Heru, Jaed, Ocoy, Usman, Erlan, abuy, Andi dan Dede telah berkumpul, sementara Iwan dan Yuli akan disusul nanti dalam perjalanan.

Dari kiri ke kanan. Berdiri : Usman, Andy, Dilah, Dede, Heru, Yuli, Abuy
Dari kiri ke kanan. Jongok : Jaed, Ocoy, Erlan
Iwan
Pukul 17.00 WIB., diawali dengan do’a kami berangkat, sebagian menggunakan mobil dengan tas Carrier kami masukan kedalam mobil, sebagian lagi menggunakan motor berboncengan, cuaca cukup cerah, perjalanan berlangsung santai dan menyenangkan.

Pukul 20.00 WIB., sampai di Cibodas, setelah mengamankan kendaraan kami menuju ke salah satu warung yang sering dijadikan oleh para pendaki untuk tempat beristirahat, mengisi perut, maupun menginap. Kami beristirahat di warung si Mpok, begitulah orang-orang biasa menyebutnya, harga makanan yang terjangkau, dan biaya menginap Rp. 50.000,- relatif murah, lumayan untuk tempat kami bermalam. Malam kami lewati dengan canda tawa dan obrolan ringan, sampai akhirnya satu persatu dari kami tertidur.
 
Suasana di Warung si Mpok
Sabtu, 25 Oktober 2014
Pukul 04.30 WIB., Hari pendakian. Kami terbangun oleh suara adzan subuh di Masjid Balai Besar TNGGP. Setelah solat kami melakukan persiapan ulang, cek peralatan yang akan dibawa dalam pendakian, setelah siap kemudian kami sempatkan sarapan pagi.

Pukul 06.30 WIB., Saatnya menyiapkan mental dan fisik. Semua personil dalam keadaan sehat, dengan diawali berdoa bersama pendakian pun dimulai. Sampai di pintu masuk pendakian kami melapor dengan menunjukan Simaksi, barang bawaan kami diperiksa oleh petugas sebagai standar prosedural bagi para pendaki agar tidak membawa barang-barang terlarang selama pendakian. 

Pintu masuk pendakian
Lapor di Pos Pendakian
Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan dalam satu kelompok, Heru di posisi paling depan sebagai Leader dan Jaed di belakang sebagai Sweeper. Setelah beberapa ratus meter berjalan salah satu personil kami yaitu Usman mengalami masalah di kakinya, mungkin karena salah tumpuan dan kurang pemanasan kakinya sedikit terkilir, sambil beristirahat Ocoy memberikan perawatan alakadarnya kepada Usman. Setelah kondisi Usman pulih kami lanjutkan perjalanan, perjalanan kami lewati dengan santai, diselangi canda dan tawa, tak lupa kami selingi dengan berfoto karena selama pejalanan pemandangan alam sungguh indah, rapatnya pepohonan ditambah suara burung berkicau dijamin akan membuat suasana pendakaian menjadi nyaman. Trek pendakian pun sudah ditata sedemikian rupa oleh pihak pengelola, trek sangat jelas dan cukup lebar tersusun oleh batu-batu dan disetiap persimpangan terdapat plang penunjuk jalan. Jadi dapat dipastikan, kemungkinan tersesat saat pendakian Gn. Gede pangrango relatif kecil, kecuali kalau kita membuat atau memotong jalur tanpa dibekali dengan kemampuan navigasi yang mumpuni.

Perawatan Kaki Usman oleh Ocoy
Pukul 12.00 WIB., kami sampai di sungai air panas yang tepat berada di pinggir trek pendakian, bahkan alirannya memotong terak pendakian, disini kita harus ekstra hati-hati karena selain jalan yang menyempit dan licin ditambah dengan jurang cukup curam tepat disamping jalan. Sungai air panas ini memnjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki, disini kita dapat beristirahat sambil menyempatkan berendam, dijamin badan akan kembali segar, tenaga yang terkuras akan kembali pulih. Lanjut jalan sekitar setengah jam kemudian kami sampai di Pos Kandang batu, area disini cukup luas untuk dijadikan tempat camp. Setelah beristirahat sejenak kami lanjutkan perjalanan.
 
Sungai Air Panas
Pukul 13.30 WIB., kami sampai di Pos Kandang Badak yang merupakan pos pendakian terakhir sebelum puncak di jalur Cibodas, dari sini kita akan menemukan persimpangan, arah kiri ke Gn. Gede dan kanan ke Gn. Pangrango. Sama seperti di Kandang Batu, selain area disini cukup luas untuk dijadikan tempat camp disini juga terdapat sumber air bersih. Sekitar 1 jam kami beristirahat di Kandang Badak. Mulai tampak raut wajah kelelahan dari kami, sampai ada beberapa orang yang tertidur. Di sini kami sempatkan makan siang dan mengisi ulang persediaan air yang sudah mulai menipis. Kerena waktu yang semakin sore dengan sedikit memaksakan kami lanjutkan perjalanan, karena sesuai dalam management pendakian yang kami buat bahwa kami akan sampai di Alun-alun Suryakencana Pukul 18.00 WIB. Untuk kemudian bermalam.
 
Pos Kandang Badak
Istirahat di Kandang Badak
Pukul 15.30 WIB., tenaga kami hampir habis, trek semakin menanjak dan batu-batu yang tersusun rapi yang sedari tadi kami pijak pun mulai hilang, Vegetasi hutan pun mulai berubah dari pohon-pohon tinggi besar dan lebat kini berganti dengan pohon-pohon khas puncak gunung seperti Cantigi. Ternyata tanpa kami sadari kami mulai memasuki jalur yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai “Tanjakan Setan”. Disini kami berjalan cukup lambat, beberapa langkah berjalan kami selingi dengan istirahat. Masalah pun mulai timbul, kami yang sedari tadi berjalan bersama dalam satu kelompok mulai terpencar. Iwan, Dede dan Ocoy yang mungkin masih memiliki tenaga ekstra berjalan paling depan jauh meninggalkan kami. Sementara Abuy dan Andi tertinggal jauh dibelakang kami, bahkan Abuy yang saat itu sudah kehabisan tenaga meminta waktu setengah jam untuk istirahat tidur. Kami mulai khawatir dengan kondisi yang mulai kacau, kondisi kian diperparah dengan mulai turunnya hujan disertai kabut dan udara yang semakin dingin. Takut terjadi sesuatu Heru memutuskan untuk menunggu Abuy dan Andi yang tertinggal dibelakang, sementara Yuli yang ternyata baru pertama kali ini naik gunung terlihat sangat kepayahan sekali, kami pun melanjutka jalan perlahan.
 
Memasuki Jalur Tanjakan Setan
Disinilah mulai timbul masalah yang sebenarnya, dalam situasi mulai gelap disertai hujan, Yuli yang sedari tadi memang sudah kepayahan, mengeluh lemas, pusing dan sakit di lututnya, bahkan Yuli beberapa kali mulai kehilangan kesadarannya. Wajah Yuli mulai pucat telapak tangan dan kaki terasa dingin dan memutih juga denyut nadi yang lemah, sesekali Yuli maracau berbicara sendiri, maka kami simpulkan bahwa Yuli terkena gejala Hypotermia. Dalam kondisi genting kami mencoba untuk tetap tenang, dengan sigap kami membagi tugas, saya, Usman dan Erlan memberikan tindakan perawatan kepada Yuli, Heru menyusul Iwan, Ocoy dan Dede yang sudah jauh di depan untuk kembali kedalam kelompok, sementara Jaed mencari tempat untuk mendirikan Camp darurat, karena memang saat itu sudah tidak mungkin lagi kami menlanjutkan perjalanan.
 
Tanjakan Setan
Pukul 17.30 WIB., dalam area yang terbatas kami dirikan Camp darurat dipinggir jurang yang lumayan curam. 1 tenda kami dirikan terlebih dahulu, Yuli yang kodisinya semakin parah segera dievakuasi kedalam tenda dan diberikan perawatan, untunglah kami yang tergabung dalam komunitas Pecinta Alam mempelajari cara-cara untuk menangani Hypotermia, Dede segera membantu mengganti pakaian Yuli yang basah. Kami berusaha sekuat tenaga menghangatkan dan menyadarkan Yuli, untunglah beberapa saat kemudian Yuli sadar. Setelah sadar kemudian Yuli diberikan makanan dan minuman hangat untuk menambah nutrisi tubuhnya.
 
Mendirikan Tenda Darurat
Sekitar setengah jam kami berada dalam kepanikan karena kondisi Yuli yang kritis, akhirnya berkat usaha dan do’a kondisi Yuli mulai membaik. Personil lain yang kondisinya mulai lemah, Abuy, Dede dan Iwan menyusul beristirahat di dalam tenda yang sama. Mungkin karena rasa lelah yang teramat sangat, Heru dan Usman tertidur di dalam sleeping bag dengan hanya beralas matras dan hanya ditutupi oleh Flyshet. Sementara saya, Ocoy, Elan, Andi dan Jaed saat itu kebingungan mendirikan tenda ke 2 karena tidak ada lagi area yang bisa ditempati. Dalam kebingungan tanpa pikir panjang kami dirikan tenda di tengah-tengah jalan setapak yang lebarnya tidak lebih dari 1,5 meter, terserah lah apa kata pendaki lain yang saat itu jalannya kami tutupi dengan tenda, begitu pikir kami saat itu. Setelah selesai kamipun masuk kedalam tenda mencoba beristirahat.
 
Tenda menutupi jalan
Kurang lebih 1 jam berada dalam tenda saya tak kunjung juga bisa tertidur, selain rasa dingin menusuk tulang meski badan telah diselimuti dengan jaket tebal dan sleeping bag, pikiran saya pun tak bisa lepas dari kawan-kawan lain yang kondisinya lemah. Ocoy dan Jaed pun tampaknya belum juga bisa tidur, maka saat itu kami pun sepakat untuk keluar tenda dan membuat api unggun. Awalnya kami merasa ragu untuk membuat api unggun, karena memang salah satu larangan di kawasan TNGGP adalah membuat api unggun. Tapi saat itu kami memang punya cukup alasan untuk melanggar salah satu aturan yang ada, “demi keselamatan bersama”. Ternyata bukan hal mudah menyalakan api dalam situasi seperti itu, angin kencang, udara dingin dan berkabut, ditambah ranting-ranting pohon yang sedari tadi basah karena hujan. Dengan tubuh menggigil kami tak menyerah, kurang lebih 5 kali kami mencoba menyalakan api menggunakan bantuan kompor spirtus, dengan kesabaran akhirnya api menyala, sungguh saat itu sangat senang hati kami, bagaikan nyawa yang tadinya hanya tinggal setengah, kini bertambah lagi menjadi utuh. Kami segera menghangatkan tubuh, pakaian basah pun segera kami hangatkan dekat api, kawan-kawan lain yang dari tadi tertidur satu-persatu keluar untuk ikut menghangatkan tubuh.


Pukul 24.00 WIB., dirasa cukup mengahangatkan tubuh kami mulai mematikan api, setelah memastikan api mati sampai tak tersisa kami mulai masuk kedalam tenda untuk beristirahat tidur.

Bersambung.....

Senin, 11 Januari 2016

CATATAN PENDAKIAN GUNUNG PAPANDAYAN

Peringatan : Tulisan ini sangat panjang, karena saya mencoba menuliskan catatan pendakian ini dengan serinci mungkin. Semoga para pembaca dapat membacanya dengan ikhlas dan tidak bosan.

BASED ON TRUE STORY

Pada kesempatan ini saya akan menulis tentang perjalanan pendakian saya bersama sahabat-sahabat dari Gemapala (Generasi Maniis Pecinta Alam) ke Gunung Papandayan Garut Jawa Barat. Tetapi sebelumnya mari kita berkenalan dulu dengan gunung yang menjadi Setting dalam tulisan ini.

GUNUNG PAPANDAYAN 2665 Mdpl.

Gunung Papandayan :

Gunung Papandayan adalah gunung api strato yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Cisurupan. Gunung dengan ketinggian 2665 meter di atas permukaan laut itu terletak sekitar 70 km sebelah tenggara Kota Bandung.

Pada Gunung Papandayan, terdapat beberapa kawah yang terkenal. Di antaranya Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk. Kawah-kawah tersebut mengeluarkan uap dari sisi dalamnya.

Topografi di dalam kawasan curam, berbukit dan bergunung serta terdapat tebing yang terjal. Menurut kalisifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk type iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/thn, kelembaban udara 70 – 80 % dan temperatur 10 º C

Potensi flora di dalam kawasan gunung ini diantaranya Pohon Suagi (Vaccinium valium), Edelweis (Anaphalis javanica), Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanea argentea), Pasang (Quercus platycorpa), Kihujan (Engelhardia spicata), Jamuju (Podocarpus imbricatus ), dan Manglid (Magnolia sp ).

Sedangkan potensi fauna kawasan diantaranya Babi Hutan ( Sus vitatus ), Trenggiling (Manis javanicus), Kijang (Muntiacus muntjak), Lutung (Trachypitecus auratus ) serta beberapa jenis burung antara lain Walik (Treron griccipilla ), dan Kutilang ( Pycononotus aurigaste )
Gunung Papandayan mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous

Dalam catatan sejarah, Gunungapi Papandayan tercatat telah beberapa kali meletus diantaranya pada 12 Augustus 1772, 11 Maret 1923, 15 Agustus 1942, dan 11 November 2002. Letusan besar yang terjadi pada tahun 1772 menghancurkan sedikitnya 40 desa dan menewaskan sekitar 2957 orang. Daerah yang tertutup longsoran mencapai 10 km dengan lebar 5 km.

Pada 11 Maret 1923 terjadi sedikitnya 7 kali erupsi di Kawah Baru dan didahului dengan gempa yang berpusat di Cisurupan. Pada 25 Januari 1924, suhu Kawah Mas meningkat dari 364 derajat Celsius menjadi 500 derajat Celcius. Sebuah letusan lumpur dan batu terjadi di Kawah Mas dan Kawah Baru dan menghancurkan hutan. Sementara letusan material hampir mencapai Cisurupan. Pada 21 Februari 1925, letusan lumpur terjadi di Kawah Nangklak. Pada tahun 1926 sebuah letusan kecil terjadi di Kawah Mas.

Sejak April 2006 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan status Papandayan ditingkatkan menjadi waspada, setelah terjadi peningkatan aktivitas seismik. Pada 7-16 April 2008 Terjadi peningkatan suhu di 2 kawah, yakni Kawah Mas (245-262 derajat Celsius), dan Balagadama (91-116 derajat Celsius). Sementara tingkat pH berkurang dan konsentrasi mineral meningkat. Pada 28 Oktober 2010, status Papandayan kembali meningkat menjadi level 2


Nah... sekarang sudah kenal kan dengan Gunung papandayan ?? tanpa panjang lebar lagi saatnya bercerita.
Menjelang liburan akhir tahun 2015 saya sama sekli tidak memiliki rencana apapun selain (mungkin) hanya menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Hingga tiba pada akhir minggu di bulan Desember, saya memberikan gagasan kepada kawan-kawan Gemapala untuk melakukan pendakian ke Gunung Papandayan. Dan ternyata gagasan saya langsung diamini oleh beberapa kawan di Gemapala.
Maka dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kami mengadakan rapat darurat untuk membahas rencana pendakian Gunung Papandayan, dari hasil rapat yang berlangsung singkat dan padat ditentukanlah hari Jumat Tanggal 01 Januari 2016 sebagai hari keberangkatan kita menuju Pendakian yang akan berakhir hari Minggu tanggal 03 januari 2016. Komposisi awal personil yang akan ikut serta dalam pendakian berjumlah 11 orang, yaitu ; Dilah (saya sendiri), Ochi, Pak Marwah, Pak Yayan, Elan, Usman, Rio, Atep, Mila, Siti Nurobi’ah/Dede dan Ganjar. Adapun transportasi yang akan kami gunakan adalah menggunakan mobil pribadi jenis Pick-Up, dan perjaanan sampai ke Garut kami perkirakan 5 jam. Sekedar info, selain untuk mengisi libur akhir tahun, pendakian Gunung papandayan kami dedikasikan untuk memperingati HUT Gemapala yang ke-2.

Jumat, 01 Januari 2016
Pagi yang lumayan cerah dihari pertama tahun 2016. Kami sedikit dikejutkan dengan kabar yang menyedihkan, Ibunda dari Pak Yayan menderita sakit yang mengakibatkan beliau harus dirawat di RS sehingga membuat Pak Yayan urung untuk ikut dalam pendakian Papandayan.

Pukul 17.00 WIB., waktu kumpul semua personil di rumah saya di Kp. Cibanggala RT. 05/03 Ds. Cijati Kec. Maniis Kab. Purwakarta, personil pun hampir lengkap, minus Pak Yayan yang tidak bisa ikut dan Ganjar yang entah dengan alasan apa tidak juga kunjung datang. Saat itu cuaca dalam keadaan hujan, saya mencoba tenang dalam menyikapi cuaca yang kurang bersahabat, dan coba menenangkan kawan-kawan lain yang sudah mulai terlihat uring-uringan. Menunggu hujan reda kami mencoba mengisinya dengan memeriksa kembali seluruh barang bawaan yang akan kami bawa dalam pendakian.

Pukul 21.00 WIB., kawan kami Ganjar belum juga datang, maka secara sepihak kami putuskan bahwa Ganjar tidak akan ikut. Dalam kondisi cuaca masih gerimis kami putuskan untuk berangkat ber-9 menggunakan mobil Pick-Up yang bagian Bak-nya ditutupi terpal sebagai antisipasi hujan. Perjalanan cukup lancar memakan waktu kurang lebih 5 jam, saya yang saat itu bertindak sebagai sopir yang belum tau rute yang harus ditempuh menuju Papandayan dibantu oleh Usman menggunakan GPS, meskipun selama perjalanan sering kali dia nundutan.

Dari Kiri ke Kanan
Berdiri : Dilah, Usman, Erlan, Atep, Pak Marwah, Rio
Jongkok : Ochi, Dede, Mila
Sabtu, 02 Januari 2016
Pukul 01.30 WIB., kami sampai di Cisurupan, disinilah jalur masuk menuju Papandayan. Disini sudah mulai terlihat hiruk-pikuk para pendaki dan deretan mobil Pick-Up carteran yang siap mengantar para pendaki menuju Camp David (pintu masuk pendakian Gn. Papandayan). Dari titik ini waktu tempuh menuju Camp David memakan waktu ½ jam menggunakan kendaraan atau 3 jam berajalan kaki dengan kondisi jalan aspal yang sudah mulai rusak dan menanjak.

Sedikit informasi, pabila kita menggunakan angkutan umum atau tidak membawa kendaraan pribadi, dari Cisurupan menuju Camp David ada 2 alternatif pilihan angkutan, yaitu menggunakan Pick-Up carteran dengan ongkos Rp. 20.000 per orang atau Rp. 250.000 untuk booking 1 Pick-Up, atau bisa menggunakan Ojek dengan ongkos Rp. 30.000. besaran ongkos tersebut relatif tergantung kita bila pandai menawar mungkin akan lebih murah.

Kembali ke cerita. 1 hal yang pada saat itu tidak kami ketahui, mungkin menjadi sedikit kesialan kami yang saat itu membawa mobil Pick-Up pribadi, di Cisurupan ada satu aturan yang tidak resmi yang entah dengan alasan apa aturan itu dibuat, bahwa para pengunjung Gunung Papandayan diperbolehkan membawa kendaraan pribadi berjenis apapun sampai ke Camp David kecuali mobil Pick-Up!!... saya tegaskan kembali “kecuali mobil Pick-Up pribadi!!”

Lalu bagaimana nasib kami yang membawa Pick-up pribadi? Kendaraan kami pun di stop oleh seseorang yang “mungkin” calo angkutan, kemudian dia menjelaskan aturan tadi dan kemudian kami pun diberikan 2 pilihan yang teramat sangat berat. Yaitu Opsi ke-1 ; mobil Pick-Up kami harus ditinggal di Cisurupan dan kami harus beralih ke mobil Pick-Up sewaan menuju Camp David dengan besaran ongkos seperti terurai di atas, atau kami berjalan kaki saja ke Camp David.  Opsi ke-2 ; Pick-Up kami boleh dibawa ke Camp David, tetapi kami tetap diminta menyerahkan uang sebanyak harga booking Pick-Up. Maka setelah berunding, dengan berat hati kamipun memili opsi ke-2.

Memasuki gerbang masuk kawasan Gn. Papandayan kami melakukan registrasi dan membayar retribusi sebesar Rp. 115.000,- saya lupa rinciannya untuk biaya apa saja. Lanjut jalan, sampai di Camp David Pkl. 02.00 WIB. Mobil di parkir dan kami beristirahat sejenak sambil cek kembali perlengkapan yang akan kami bawa dalam pendakian. Dirasa cukup kami lanjut jalan ke Pos pendakian untuk mendaftar dan “kembali” membayar tiket masuk sebesar Rp. 3.000,- per orang dan Rp. 25.000,-untuk parkir mobil.

Camp David

Pukul 02.30 WIB. Dalam gelap malam dan suhu yang dingin kami mulai jalan mendaki. Trek berbatu menyambut kami di awal pendakian, tampak samar-samar terlihat kawah papandayan yang mengeluarkan asap belerang yang lumayan menyengat di hidung, jadi saya sarankan para pendaki untuk menggunakan masker. 1 jam berjalan melewati trek berbatu kami menjumpai beberapa warung yang saya kira selalu buka 24 jam dan siap memberikan service kepada para pendaki. Kami pun memutuskan untuk beristirahat tidur di salah satu warung sampai pagi karena  mata kami yang sudah tidak bisa diajak kompromi. Tujuan kami berikutnya adalah Pondok Salada, disanalah para pendaki berkemah, karena selain area nya yang luas, juga terdapat sumber air bersih yang tidak pernah kering.

Istirahat di Warung

Pukul 07.00 WIB. Kami lanjut jalan menuju Pondok Salada. Sekedar informasi, dari warung ini ada 2 jalur menuju Pondok Salada, yaitu jalur kiri melewati Hutan Mati lalu Pondok Salada, atau jalur kanan melalui Pos 2 lalu Pondok Salada. Disarankan para pendaki untuk mengambil jalur kanan melalui Pos 2 karena relatif lebih aman dan ini jalur resmi! Sedangkan jalur kiri treknya berbatu, curam dan di pinggir jurang kawah Papandayan. Sebagai pendaki yang baik dan tidak sombong serta rajin menabung, kami pun mengambil jalur kanan. Sampai di Pos 2 kamipun kembali melapor, disini kita kan diminta memberikan uang secukupnya untuk biaya kebersihan. Satelah selesai lalu lanjut jalan “lagi”.

Pos 2

Pukul 09.00 WIB., sampai di Pondok Salada. “Amejing” Pondok Salada, Camping Ground di Papandayan dengan area yang luas, disini kita sudah bisa menjumpai Edellweis dan tentunya pohon Cantigi yang pucuk dan buahnya aman untuk di konsumsi. Ke “Amejing”an Pondok Salada tidak sampai disitu, disini terdapat banyak sekali warung bahkan mushola dan WC umum pun ada, amejing kan? 3 tenda yang kami bawa mulai didirikan, logistik kami keluarkan kemudian mulai memasak untuk sarapan sekaligus makan siang.

Are Camp Pondok Salada
 
Deretan Warung di Pndok Salada
Pukul 12.00 WIB., berbekal air munum, makanan ringan, Kompas dan P3K kami jalan ke Hutan Mati, cukup dekat dari Pondok Salada hanya butuh waktu kurang lebih 15 menit. Hutan Mati merupakan sisa-sisa dari Hutan Pohon Cantigi yang terkena efek dari letusan Gn.Papandayan, dengan sisa-sisa batang pohon menjulang berwarna hitam, disertai kabut dan udara dingin, menjadikan Hutan Mati bukan hanya indah tapi juga beraroma mistis.

Hutan Mati
Suasana di Hutan Mati

Pukul 14.00 WIB., kami lanjutkan pendakian ke Tegal Alun. Tegal Alun merupakan padang Edellweis terbesar yang ada di Indonesia. Dibutuhkan waktu sekitar 1 jam nanjak mendaki dari Hutan Mati ke Tegal Alun. Di perjalanan menuju Tegal Alun langit mulai mendung, kami pun mulai khawatir akan turun hujan karena ternyata ada satu hal yang kompak kami lupakan, yaitu Raincoat yang ternyata tertinggal di tenda. Kekhawatiran kami pun mulai menjadi kenyataan, gerimis turun. Sampai ke Tegal Alun hujan turun agak lebat dan kami pun hanya bisa pasrah dalam kedinginan. Karena hujan dan berkabut tak banyak yang dapat kami lakukan selain berteduh di bawah pohon Cantigi. Sedikit penyesalan andai saja kami datang ke Tegal Alun pagi hari, mungkin tidak akan turun hujan.
Gerimis & Bekabut di Tegal Alun
Bersama Kawan Baru dari Bekasi di Tegal Alun

Pukul 16.30 WIB., Hujan mulai berhenti. Karena hari sudah terlalu sore kami memutuskan tidak melanjutkan perjalanan ke puncak, kami lebih memilih turun kembali ke Pondok Salada.

Pukul 17.30 WIB., tiba di Pondok Salada, setelah mengeringkan tubuh dan berganti baju kami putuskan untuk masuk kedalam tenda menghangatkan diri dibalik sleepingbag sampai tertidur, karena cuaca di malam itu yang tak kunjung membaik.

Minggu, 03 Januari 2016
Pukul 01.00 WIB., hujan reda langit malam mulaicerah, mungkin karena lapar beberapa orang dari kami terbangun, membuat sedikit kegaduhan di luar tenda sehingga akhirnya personil laki-laki dari kelompok kami memutuskan untuk bangun. Diluar tenda kami membuat api unggun dan memasak mie rebus untuk mengisi perut

Pukul 05.00 WIB., kami jalan kembali ke Hutan Mati untuk menikmati matahari terbit, berfoto mengabadikan moment yang sangat indah.
Sunrise di Hutan Mati
Sunrise di Hutan Mati

Pukul 07.30 WIB., kami kembali ke tenda untuk sarapan, setelah selesai sarapan kami mulai berkemas, membongkar tenda, dan membersihkan area camp dari sampah.

Pukul 10.30 WIB., mulai jalan turun, kali ini kami memilih jalan turun melalui Hutan Mati agar jarak tempuh lebih singkat. Disini kita perlu ekstra hati-hati karena trek nya sangat curam, berbatu dan dipinggir trek merupakan jurang kawah yang sangat dalam.
Jalur turun lewat Hutan Mati

Pukul 11.30 WIB., kami tiba di Camp David. Setelah melapor ke Pos Pendakian kami menyempatkan berjalan-jalan ke stand cendramata khas Papandayan untuk membeli oleh-oleh. Dirasa cukup kami bersiap pulang, ternyata hambatan kembali datang, ban mobil kami kempes tertusuk baut sehingga kami harus menggantinya dengan ban cadangan. Yang membuat sulit adalah posisi mobil yang terparkir di atas tanah yang becek, sehingga kami harus berkotor-kotor ria dalam proses mengganti ban.
 
Camp David
Pukul 12.30 WIB., setelah merapihkan Carrier di mobil, dengan bacaan Bassmallah kami jalan menuju pulang, ternyata jalan pulang sungguh tak selancar jalan saat berangkat, dari mulai jalur Nagrek, Cileunyi hingga Bandung jalanan sangat macet, membuat waktu tempuh yang kami lewati untuk pulang menjadi selama 9 jam.

Pukul 20.30 WIB., alhamdulillah dengan selamat sentosa, tanpa kurang satu apapun kami tiba di rumah masing-masing.

Rincian Budget kami ke Papandayan :
1.      Sewa mobil + bensin : Rp. 850.000,- / 9 orang = Rp. 95.000,-
2.      Kena pajak di Cisurupan : Rp. 250.000,- /9 orang = Rp. 28.000,-
3.      Registrasi di Gerbang Papandayan : Rp. 115.000,- / 9 orang = Rp. 13.000,-
4.      Registrasi di Pos Pendakian Camp David : Rp. 50.000,- / 9 orang = Rp. 6.000,-
Total pengeluaran per-orang : Rp. 142.000,-

Saran bila mau ke Papandayan :
1.      Persiapkan mental & fisik
2.      Bawalah peralatan, perlengkapan, logistik lengkap
3.      Bila mau bawa kendaraan pribadi jangan pake Pick-Up/Bak terbuka
4.      Jangan lupa bawa jas hujan/raincoat/ponco
5.      Buat yang suka jajan bawalah uang yang banyak, karena banyak sekali warung dengan jajanan menggiurkan.
6.      Jangan tinggalkan sampah di Gunung.

Foto-foto kami :




Sekian tulisan saya tentang Pendakian Gn. Papandayan, semoga dapat membantu kawan-kawan yang punya rencana mendaki Gn. Papandayan.

Salam Lestari..

Jumat, 08 Januari 2016

Mari Hiking ke Gunung Karung

GUNUNG KARUNG, 575 Mdpl.

GUNUNG KARUNG.. “apa itu Gunung Karung?”, “dimana itu Gunung Karung?”. Mungkin sahabat-sahabat yang membaca tulisan ini masih asing dengan Gunung Karung, dan mungkin apa bila sahabat sekalian mencoba mencari di mesin perambah Google yang akan muncul adalah keterangan mengenai Gunung Karung yang merupakan sebuah Desa di wilayah Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Prov. Jawa Barat.

“apakah itu yang dimaksud Gunung Karung dalam tulisan ini?”, Yapp.. betul.. disini saya akan membahas sebuah bukit berketinggian 575 Mdpl. Yang berada di Desa Gunung Karung Kec. Maniis Kab. Purwakarta.

Pada dasarnya sebagian besar hutan di Kecamatan Maniis telah beralih fungsi menjadi lahan atau perkebunan yang dikelola oleh warga, begitupun hutan Gunung Karung, sekitar tahun 1990 hutan alami di Gunung Karung beraih fungsi menjadi perkebunan warga. Pada awalnya warga menanm pohon Jati, kemudian diganti dengan Mahoni, hingga kemudian diganti dengan pohon Karet sampai sekarang.

Gunung Karung berjarak sekitar 3 Km dari kantor Kecamatan Maniis, akses jalan bisa melewati 2 jalur, yaitu dari jalan pertigaan Cibanggala (arah kanan dari kantor Kecamatan), dan dari jalan pertigaan Palumbon (arah kiri dari Kantor Kecamatan). Setelah sampai di Kp. Cidahu Ds. Gunungkarung, masuk ke jalan Cidahu-Cimanalaksa, kemudian masuk ke lokasi Pos pintu masuk di Kp. Legok Peundeuy Ds. Gunungkarung.

Basecamp GEMAPALA/Pos Pintu Masuk Gunung Karung

Ada banyak jalur untuk mendaki ke puncak Gunung Karung, tetapi yang sering kami lewati adalah jalur Kp. Legok Pendeuy karena disini terdapat Basecamp/Sekretariat GEMAPALA yang bisa dijadikan titik pintu masuk.

Jalur pendakian menuju puncak Gunung Karung merupakan jalan setapak yang biasa dilewati warga setempat untuk bekerja menyadap karet, sepenjang jalur menuju puncak didominasi oleh pohon-pohon karet yang menjulang tinggi sehingga meskipun panas terik akan tetap terasa teduh. Kontur jalan yang dilewati bervariasi, mulai dari landai, menanjak hingga curam sejauh kurang lebih 3 Km. Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk berjalan kaki menuju puncak Gunung Karung dari Pos pintu masuk/Basecamp GEMAPALA sekitar 1,5 jam.

Trek menuju puncak Gunung Karung

Trek menuju puncak Gunung Karung

Trek menuju puncak Gunung Karung

 Setelah sampai di puncak Gunung Karung kita akan disuguhi pemandangan yang sangat indah, dari titik ini kita kita dapat melihat seluruh wilayah Kecamatan Maniis, bahkan Tegalwaru, Plered Bandung Barat hingga Cianjur. View yang disuguhkan di puncak selain wilayah Kecamatan Maniis dan sekitarnya kita juga dapar melihat pemandangan Gunung Gede Pangrango di Cianjur, genangan air waduk Cirata, bendungan Cirata dan kolam apung, Gunung Burangrang di Bojong, Gunung Bongkok dan Parang di Tegalwaru.
View Kolap Terapung di Waduk Cirata dari Puncak Gunung Karung
View Gn. Bongkok, Prang & Lembu dari puncak Gunung Karung
View Gn. Gede Pangrango dari puncak Gunung Karung
View Gn. Burangrang dari puncak Gunung Karung

Di Puncak Gunung Karung kita juga dapat berkemah, karena terdapat beberapa titik yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda. Akan tetapi apabila berkemah kita harus membawa persediaan air dari bawah, karena di Puncak tidak terdapat sumber air.

Camp di puncak Gunung Karung
Camp di puncak Gunung Karung
Camp di puncak Gunung Karung

Dengan demikian, bagi sahabat sekalian yang menyukai mendaki gunung, camping ataupun wisata alam, Gunung Karung dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan. Saya bersama kawan-kawan Gemapala siap menjadi volunter untuk sahabat sekalian. Oleh karena itu.... silahkan berkunjung...

View di puncak Gunung Karung :