Petualangan, Penyelamatan, Bertahan Hidup, Mistis
BASED ON TRUE STORY
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) |
Gunung Gede Pangrango terletak di
wilayah Kabupaten Cianjur, Bogor dan Sukabumi Provinsi Jawa Barat, ke-2 Gunung
ini berada dalam wilayah Konservasi TNGGP (Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango), dengan Gn. Pangrango-nya yang merupakan Gunung tertinggi ke-2 di
Jawa Barat yaitu 3.019 Mdpl. setelah Gn. Ceremai 3.084 Mdpl. Di Indonesia Gn.
Gede Pangrango menjadi gunung paling ramai dan
difavoritkan oleh para pendaki, mungkin karena letaknya yang paling mudah
diakses, terutama dari Jakarta. Itu pun yang menjadi alasan kami menjadikan Gn.
Gede Pangrango sebagai tunjuan pendakian kali ini, karena jaraknya yang cukup
dekat dari Purwakarta, hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan.
Tidak seperti gunung-gunung lain,
untuk mendaki Gn. Gede Pangrango kita akan dihadapkan dengan proses perizinan
yang lumayan rumit. Pertama kita harus melakukan Booking Online jauh-jauh hari
sebelum hari H Pendakian yang telah kita tetapkan, kemudian transfer uang
pendaftaran ke rekening Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP), kemudian kita akan divalidasi, setelah divalidasi beberapa hari
sebelum hari H kita harus datang langsung ke kantor TNGGP untuk pengurusan
Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dengan menyertaka fotokopi
identitas dan melunasi biaya administrasi (bila pada saat transfer belum
dilunasi semua), selanjutnya setelah mendapatkan SIMAKSI barulah kita dapat
melakukan pendakian pada hari yang telah ditentukan.
Balai Besar TNGGP (Tempat mengurus SIMAKSI) |
Ada 3 pintu masuk pendakian resmi
yang telah ditentukan, yaitu Cibodas 1.425 Mdpl. dan Gunung Putri 1.450 Mdpl.
di Cianjur dan Selabintana 960 Mdpl. di Sukabumi. Pintu masuk Gunung Putri
menjadi yang paling difavoritkan oleh para pendaki karena jarak tempuh
pendakian yang lebih dekat tetapi relatif lebih curam. Untuk akses kendaraan
umum menuju pintu masuk pendakian cukup banyak, ataupun apabila kita membawa
kendaraan pribadi kita dapat menitipkannya di tempat parkir yang tersedia di
pintu masuk pendakian. Seperti kami yang saat itu membawa kendaraan pribadi
kami titipkan di tempat parkir kendaraan kawasan Cibodas.
Setelah melewati pembahasan
bersama kawan-kawan Gemapala, maka ditentukan waktu pendakian yaitu hari Sabtu
dan Minggu tanggal 25 – 26 Oktober 2014, sementara untuk keberangkatan
ditentukan satu hari sebelumnya yaitu hari Jumat tanggal 24 Oktober 2014 supaya
kita dapat beristirahat dulu 1 malam di Cibodas, karena kita menentukan Cibodas
sebagai pintu masuk pendakian dan Gunung Putri sebagai pintu keluar.
Jumat, 24 Oktober 2014
Pukul 15.30 WIB., hari yang
ditunggu telah tiba. Satu persatu personil yang akan turut serta dalam pendakian
tiba di rumah saya yang dijadikan sebagai tempat kumpul. Jumlah personil yang
akan ikut berjumlah 11 orang, 9 laki-laki : Dilah (Saya), Heru, Jaed, Ocoy,
Erlan, Usman, Iwan, Andi, Abuy. dan 2 perempuan : Yuli, Dede. Heru, Jaed, Ocoy,
Usman, Erlan, abuy, Andi dan Dede telah berkumpul, sementara Iwan dan Yuli akan
disusul nanti dalam perjalanan.
Dari kiri ke kanan. Berdiri : Usman, Andy, Dilah, Dede, Heru, Yuli, Abuy Dari kiri ke kanan. Jongok : Jaed, Ocoy, Erlan |
Iwan |
Pukul 17.00 WIB., diawali dengan
do’a kami berangkat, sebagian menggunakan mobil dengan tas Carrier kami masukan
kedalam mobil, sebagian lagi menggunakan motor berboncengan, cuaca cukup cerah,
perjalanan berlangsung santai dan menyenangkan.
Pukul 20.00 WIB., sampai di
Cibodas, setelah mengamankan kendaraan kami menuju ke salah satu warung yang
sering dijadikan oleh para pendaki untuk tempat beristirahat, mengisi perut,
maupun menginap. Kami beristirahat di warung si Mpok, begitulah orang-orang
biasa menyebutnya, harga makanan yang terjangkau, dan biaya menginap Rp.
50.000,- relatif murah, lumayan untuk tempat kami bermalam. Malam kami lewati
dengan canda tawa dan obrolan ringan, sampai akhirnya satu persatu dari kami
tertidur.
Sabtu, 25 Oktober 2014
Pukul 04.30 WIB., Hari pendakian.
Kami terbangun oleh suara adzan subuh di Masjid Balai Besar TNGGP. Setelah
solat kami melakukan persiapan ulang, cek peralatan yang akan dibawa dalam
pendakian, setelah siap kemudian kami sempatkan sarapan pagi.
Pukul 06.30 WIB., Saatnya
menyiapkan mental dan fisik. Semua personil dalam keadaan sehat, dengan diawali
berdoa bersama pendakian pun dimulai. Sampai di pintu masuk pendakian kami
melapor dengan menunjukan Simaksi, barang bawaan kami diperiksa oleh petugas
sebagai standar prosedural bagi para pendaki agar tidak membawa barang-barang
terlarang selama pendakian.
Pintu masuk pendakian |
Lapor di Pos Pendakian |
Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan dalam satu kelompok, Heru di posisi paling depan sebagai Leader dan Jaed di belakang sebagai Sweeper. Setelah beberapa ratus meter berjalan salah satu personil kami
yaitu Usman mengalami masalah di kakinya, mungkin karena salah tumpuan dan
kurang pemanasan kakinya sedikit terkilir, sambil beristirahat Ocoy memberikan
perawatan alakadarnya kepada Usman. Setelah kondisi Usman pulih kami
lanjutkan perjalanan, perjalanan kami lewati dengan santai, diselangi canda dan
tawa, tak lupa kami selingi dengan berfoto karena selama pejalanan pemandangan
alam sungguh indah, rapatnya pepohonan ditambah suara burung berkicau dijamin
akan membuat suasana pendakaian menjadi nyaman. Trek pendakian pun sudah ditata
sedemikian rupa oleh pihak pengelola, trek sangat jelas dan cukup lebar tersusun
oleh batu-batu dan disetiap persimpangan terdapat plang penunjuk jalan. Jadi
dapat dipastikan, kemungkinan tersesat saat pendakian Gn. Gede pangrango
relatif kecil, kecuali kalau kita membuat atau memotong jalur tanpa dibekali
dengan kemampuan navigasi yang mumpuni.
Perawatan Kaki Usman oleh Ocoy |
Pukul 12.00 WIB., kami sampai di
sungai air panas yang tepat berada di pinggir trek pendakian, bahkan alirannya memotong
terak pendakian, disini kita harus ekstra hati-hati karena selain jalan yang
menyempit dan licin ditambah dengan jurang cukup curam tepat disamping jalan.
Sungai air panas ini memnjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki, disini
kita dapat beristirahat sambil menyempatkan berendam, dijamin badan akan
kembali segar, tenaga yang terkuras akan kembali pulih. Lanjut jalan sekitar
setengah jam kemudian kami sampai di Pos Kandang batu, area disini cukup luas
untuk dijadikan tempat camp. Setelah beristirahat sejenak kami lanjutkan
perjalanan.
Pukul 13.30 WIB., kami sampai di
Pos Kandang Badak yang merupakan pos pendakian terakhir sebelum puncak di jalur
Cibodas, dari sini kita akan menemukan persimpangan, arah kiri ke Gn. Gede dan
kanan ke Gn. Pangrango. Sama seperti di Kandang Batu, selain area disini cukup
luas untuk dijadikan tempat camp disini juga terdapat sumber air bersih.
Sekitar 1 jam kami beristirahat di Kandang Badak. Mulai tampak raut wajah
kelelahan dari kami, sampai ada beberapa orang yang tertidur. Di sini kami
sempatkan makan siang dan mengisi ulang persediaan air yang sudah mulai
menipis. Kerena waktu yang semakin sore dengan sedikit memaksakan kami
lanjutkan perjalanan, karena sesuai dalam management pendakian yang kami buat
bahwa kami akan sampai di Alun-alun Suryakencana Pukul 18.00 WIB. Untuk
kemudian bermalam.
Pukul 15.30 WIB., tenaga kami
hampir habis, trek semakin menanjak dan batu-batu yang tersusun rapi yang
sedari tadi kami pijak pun mulai hilang, Vegetasi hutan pun mulai berubah dari
pohon-pohon tinggi besar dan lebat kini berganti dengan pohon-pohon khas puncak
gunung seperti Cantigi. Ternyata tanpa kami sadari kami mulai memasuki jalur
yang disebut oleh kebanyakan orang sebagai “Tanjakan Setan”. Disini kami
berjalan cukup lambat, beberapa langkah berjalan kami selingi dengan istirahat.
Masalah pun mulai timbul, kami yang sedari tadi berjalan bersama dalam satu
kelompok mulai terpencar. Iwan, Dede dan Ocoy yang mungkin masih memiliki
tenaga ekstra berjalan paling depan jauh meninggalkan kami. Sementara Abuy dan
Andi tertinggal jauh dibelakang kami, bahkan Abuy yang saat itu sudah kehabisan
tenaga meminta waktu setengah jam untuk istirahat tidur. Kami mulai khawatir
dengan kondisi yang mulai kacau, kondisi kian diperparah dengan mulai turunnya
hujan disertai kabut dan udara yang semakin dingin. Takut terjadi sesuatu Heru
memutuskan untuk menunggu Abuy dan Andi yang tertinggal dibelakang, sementara
Yuli yang ternyata baru pertama kali ini naik gunung terlihat sangat kepayahan
sekali, kami pun melanjutka jalan perlahan.
Disinilah mulai timbul masalah
yang sebenarnya, dalam situasi mulai gelap disertai hujan, Yuli yang sedari
tadi memang sudah kepayahan, mengeluh lemas, pusing dan sakit di lututnya,
bahkan Yuli beberapa kali mulai kehilangan kesadarannya. Wajah Yuli mulai pucat
telapak tangan dan kaki terasa dingin dan memutih juga denyut nadi yang lemah,
sesekali Yuli maracau berbicara sendiri, maka kami simpulkan bahwa Yuli terkena
gejala Hypotermia. Dalam kondisi genting kami mencoba untuk tetap tenang,
dengan sigap kami membagi tugas, saya, Usman dan Erlan memberikan tindakan
perawatan kepada Yuli, Heru menyusul Iwan, Ocoy dan Dede yang sudah jauh di
depan untuk kembali kedalam kelompok, sementara Jaed mencari tempat untuk
mendirikan Camp darurat, karena memang saat itu sudah tidak mungkin lagi kami
menlanjutkan perjalanan.
Pukul 17.30 WIB., dalam area yang
terbatas kami dirikan Camp darurat dipinggir jurang yang lumayan curam. 1 tenda
kami dirikan terlebih dahulu, Yuli yang kodisinya semakin parah segera dievakuasi
kedalam tenda dan diberikan perawatan, untunglah kami yang tergabung dalam
komunitas Pecinta Alam mempelajari cara-cara untuk menangani Hypotermia, Dede
segera membantu mengganti pakaian Yuli yang basah. Kami berusaha sekuat tenaga
menghangatkan dan menyadarkan Yuli, untunglah beberapa saat kemudian Yuli
sadar. Setelah sadar kemudian Yuli diberikan makanan dan minuman hangat untuk
menambah nutrisi tubuhnya.
Sekitar setengah jam kami berada
dalam kepanikan karena kondisi Yuli yang kritis, akhirnya berkat usaha dan do’a
kondisi Yuli mulai membaik. Personil lain yang kondisinya mulai lemah, Abuy,
Dede dan Iwan menyusul beristirahat di dalam tenda yang sama. Mungkin karena
rasa lelah yang teramat sangat, Heru dan Usman tertidur di dalam sleeping bag
dengan hanya beralas matras dan hanya ditutupi oleh Flyshet. Sementara saya,
Ocoy, Elan, Andi dan Jaed saat itu kebingungan mendirikan tenda ke 2 karena
tidak ada lagi area yang bisa ditempati. Dalam kebingungan tanpa pikir panjang
kami dirikan tenda di tengah-tengah jalan setapak yang lebarnya tidak lebih
dari 1,5 meter, terserah lah apa kata pendaki lain yang saat itu jalannya kami
tutupi dengan tenda, begitu pikir kami saat itu. Setelah selesai kamipun masuk
kedalam tenda mencoba beristirahat.
Kurang lebih 1 jam berada dalam
tenda saya tak kunjung juga bisa tertidur, selain rasa dingin menusuk tulang
meski badan telah diselimuti dengan jaket tebal dan sleeping bag, pikiran saya
pun tak bisa lepas dari kawan-kawan lain yang kondisinya lemah. Ocoy dan Jaed
pun tampaknya belum juga bisa tidur, maka saat itu kami pun sepakat untuk
keluar tenda dan membuat api unggun. Awalnya kami merasa ragu untuk membuat api
unggun, karena memang salah satu larangan di kawasan TNGGP adalah membuat api
unggun. Tapi saat itu kami memang punya cukup alasan untuk melanggar salah satu
aturan yang ada, “demi keselamatan bersama”. Ternyata bukan hal mudah
menyalakan api dalam situasi seperti itu, angin kencang, udara dingin dan
berkabut, ditambah ranting-ranting pohon yang sedari tadi basah karena hujan.
Dengan tubuh menggigil kami tak menyerah, kurang lebih 5 kali kami mencoba
menyalakan api menggunakan bantuan kompor spirtus, dengan kesabaran akhirnya
api menyala, sungguh saat itu sangat senang hati kami, bagaikan nyawa yang
tadinya hanya tinggal setengah, kini bertambah lagi menjadi utuh. Kami segera
menghangatkan tubuh, pakaian basah pun segera kami hangatkan dekat api,
kawan-kawan lain yang dari tadi tertidur satu-persatu keluar untuk ikut
menghangatkan tubuh.
Pukul 24.00 WIB., dirasa cukup mengahangatkan
tubuh kami mulai mematikan api, setelah memastikan api mati sampai tak tersisa
kami mulai masuk kedalam tenda untuk beristirahat tidur.
Bersambung.....